Pasang Iklan Murah Hanya Disini !

Monday 26 December 2016

Permasalahan Siswa dalam Belajar

PERMASALAHAN SISWA DALAM BELAJAR
“Tugas Akhir Mata Kuliah Belajar dan Pembelajaran”

 
Di Susun Oleh :

STEVIN IMANUEL YACOB LIU
1501040009
SEMESTER II

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN BIOLOGI
JURUSAN  PENDIDIKAN MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM
FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN
UNIVERSITAS NUSA CENDANA
KUPANG

2016


BAB I
PENDAULUAN

A.    Latar Belakang
Belajar merupakan salah satu usaha sadar manusia dalam mendidik dalam upaya meningkatkan kemampuan kemudian diiringi oleh  perubahan dan  peningkatan kualitas dan kuantitas pengetahuan manusia itu sendiri. Belajar adalah salah satu aktivitas siswa yang terjadi di dalam lingkungan belajar. Belajar diperoleh melalui lembaga pendidikan formal dan nonformal. Salah satu lembaga pendidikan formal yang umum di Indonesia yaitu sekolah dimana di dalamnya terjadi kegiatan belajar dan mengajar yang melibatkan interaksi antara guru dan siswa. Tujuan belajar siswa sendiri adalah untuk mencapai atau memperoleh pengetahuan yang tercantum melalui hasil belajar yang optimal sesuai dengan kecerdasan intelektual yang dimilikinya.
Biasanya kemampuan siswa dalam belajar seringkali dikaitkan dengan kemampuan intelektualnya. Pengukuran kemampuan intelektual ini ditunjukkan oleh hasil tes IQ (Intelligence Quotient) atau kecerdasan intelektual. Siswa dengan IQ > 110 tergolong kedalam siswa dengan kemampuan diatas rata-rata, siswa dengan rentang IQ 90-109 tergolong kedalam rata-rata normal, dan IQ < 90 tergolong kedalam rata-rata rendah atau siswa dengan kemampuan rendah.
Ada siswa dengan kecerdasan intelektual diatas rata-rata/rata-rata tinggi namun tidak menunjukkan prestasi yang memuaskan yang sesuai dengan kemampuannya yang diharapkan dalam belajar. Kemudian ada siswa yang mendapatkan kesempatan yang baik dalam belajar, dengan kemampuan yang cukup baik, namun tidak menunjukkan prestasi yang cukup baik dalam belajar. Dan ada pula siswa yang sangat bersungguh-sungguh dalam belajar dengan kemampuan yang kurang dan prestasi belajarnya tetap saja kurang.
Hal ini menunjukkan bahwa terdapat hambatan dan masalah dalam proses belajar siswa itu sendiri, baik dalam prosesnya di sekolah maupun di rumah. Oleh karena itu, guru selaku pendidik dituntut untuk selalu dapat memberikan dorongan/motivasi kepada siswanya yang kurang bersemangat dalam belajar dan meberikan solusi terhadap permasalahan belajar yang dihadapi siswanya.




B.     Rumusan Masalah
1.      Apakah pengertian masalah belajar?
2.      Apa sajakah masalah belajar dalam kelas yang sering terjadi?
3.      Bagaimana upaya pengentasan masalah belajar?




















BAB II
PEMBAHASAN

A.    Pengertian Masalah Belajar
Banyak ahli mengemukakan pengertian masalah. Ada yang melihat masalah sebagai ketidaksesuaian antara harapan dengan kenyataan, ada yang melihat sebagai tidak terpenuhinya kebutuhan seseorang, dan adapula yang mengartikannya sebagai suatu hal yang tidak mengenakan.
Prayitno (1985) mengemukakan bahwa masalah adalah sesuatu yang tidak disukai adanya, menimbulkan kesulitan bagi diri sendiri dan atau orang lain, ingin atau perlu dihilangkan.
Sedangkan menurut pengertian secara psikologis, belajar merupakan suatu proses perubahan, yaitu perubahan dalam tingkah laku sebagai hasil dari interaksi dengan lingkungannya dalam memenuhi kebutuhan hidupnya. Pengertian belajar dapat didefinisikan “Belajar ialah sesuatu proses yang dilakukan individu untuk memperoleh suatu perubahan tingkah laku yang baru secara keseluruhan, sebagai hasil pengalaman individu itu sendiri dalam interaksi dengan lingkungannya”. “Belajar adalah proses perubahan pengetahuan atau perilaku sebagai hasil dari pengalaman. Pengalaman ini terjadi melalui interaksi antara individu dengan lingkungannya” ( Anita E, Wool Folk, 1995: 196 ).
Menurut (Garry dan Kingsley, 1970: 15 ) “Belajar adalah proses tingkah laku (dalam arti luas), ditimbulkan atau diubah melalui praktek dan latihan”.
Sedangkan menurut Gagne (1984: 77) bahwa “belajar adalah suatu proses dimana suatu organisasi berubah perilakunya sebagai akibat pengalaman”.
Dari definisi masalah dan belajar maka masalah belajar dapat diartikan atau didefinisikan sebagai berikut.“Masalah belajar adalah suatu kondisi tertentu yang dialami oleh siswa dan menghambat kelancaran proses yang dilakukan individu untuk memperoleh suatu perubahan tingkah laku yang baru secara keseluruhan”. Kondisi tertentu itu dapat berkenaan dengan keadaan dirinya yaitu berupa kelemahan-kelemahan dan dapat juga berkenaan dengan lingkungan yang tidak menguntungkan bagi dirinya. Masalah-masalah belajar ini tidak hanya dialami oleh siswa-siswa yang lambat saja dalam belajarnya, tetapi juga dapat menimpa siswa-siswa yang memiliki kemampuan diatas rata-rata normal, pandai atau cerdas.

B.     Masalah yang Sering Terjadi di Dalam Kelas dan Upaya Penanganan
1.      Bolos
Kata “BOLOS” sangat populer dikalangan pelajar atau siswa baik di sekolah dasar atau di tingkat menengah. Dari beberapa survei,  jumlah siswa yang membolos pada jam efektif sekolah hanya sedikit dibandingkan dari jumlah siswa yang tidak membolos, terlepas sekecil apapun dari jumlah tersebut harus menjadi perhatian bagi institusi yang bernama sekolah, karena apabila disikapi dengan cuek bebek, tidak tertutup kemungkinan yang kecil akan menjadi besar dan menjelma menjadi bola salju liar yang akan terus menggelinding hingga jumlah siswa yang membolos sekolah akan terus meningkat.
Perilaku membolos sebenarnya bukan merupakan hal yang baru lagi bagi banyak pelajar. Setidaknya bagi mereka yang pernah mengenyam pendidikan. Hal ini disebabkan kerena perilaku membolos itu sendiri telah ada sejak dulu.
Tindakan membolos dikedepankan sebagai sebuah jawaban atas kejenuhan yang sering dialami oleh banyak siswa terhadap kurikulum sekolah. Buntutnya memang akan menjadi fenomena yang jelas - jelas akan mencoreng lembaga persekolahan itu sendiri. Tidak hanya di kota - kota besar saja siswa yang terlihat sering membolos, bahkan sekolah yang letaknya di daerah - daerah pun prilaku membolos sudah menjadi kegemaran.
Banyak siswa yang sering membolos bukan hanya di sekolah - sekolah tertentu saja tetapi banyak sekolah mengalami hal yang sama. Hal ini disebabkan oleh faktor - faktor internal dan faktor - faktor eksternal dari anak itu sendiri.  Faktor eksternal yang kadang kala menjadikan alasan membolos adalah mata pelajaran yang tidak diminati atau tidak disenangi. . Tentu saja sistem pendidikan yang ketat tanpa diimbangi dengan pola pengajaran yang sifatnya 'menyejukkan' membuat anak tidak lagi betah di sekolah. Mereka yang tidak tahan itulah yang kemudian mencari pelarian dengan membolos, walaupun secara tidak langsung hal seperti  ini sebenarnya bukan merupakan suatu jawaban yang baik. Hal ini dapat dibuktikan bahwa siswa yang suka membolos seringkali menjadi ikut serta terlibat pada hal - hal yang cenderung merugikan.
Betapa seriusnya perilaku membolos ini perlu mendapat perhatian penuh dari berbagai pihak. Bukan saja hanya perhatian yang berasal dari pihak sekolah, melainkan juga perhatian yang berasal dari orang tua, teman maupun pemerintah. Perilaku membolos sangat merugikan dan bahkan bisa saja menjadi sumber masalah baru. Apabila hal ini terus menerus dibiarkan berlalu, maka yang bertanggung jawab atas semua ini bukan saja dari siswa itu sendiri melainkan dari pihak sekolah ataupun guru yang menjadi orang tua di sekolah juga akan ikut menangungnya.  

Peran Guru yang dapat dilakukan untuk membantu menangani masalah ini adalah :
1.      Guru melakukan pendekatan persuasif dan edukatif kepada siswa, memposisikan siswa sebagai teman bicara dan bukan sebagai terdakwa
2.      Guru memberikan teladan yang baik kepada siswa, jangan sampai siswa terlambat dihukum sedangkan guru yang sering terlambat dibiarkan saja.
3.      Guru selalu berkreasi, berinovasi agar suasana kelas tercipta ceria menyenangkan dan hidup.
4.      Guru hendaknya merefleksi dan mengevaluasi diri apakah siswa dapat menerima dan memahami yang telah diajarkan guru.
5.      Guru harus memberikan penilaian kepada siswa dengan adil, transparan, jujur dan tidak merekayasa.

2.      Bullying
Pengertian Bullying
Definisi bullying merupakan sebuah kata serapan dari bahasa Inggris. Bullying berasal dari kata bully yang artinya penggertak, orang yang mengganggu orang yang lemah. Beberapa istilah dalam bahasa Indonesia yang seringkali dipakai masyarakat untuk menggambarkan fenomena bullying di antaranya adalah penindasan, penggencetan, perpeloncoan, pemalakan, pengucilan, atau intimidasi (Susanti, 2006).
Barbara Coloroso (2003:44) : Bullying adalah tindakan bermusuhan yang dilakukan secara sadar dan disengaja yang bertujuan untuk menyakiti, seperti menakuti melalui ancaman agresi dan menimbulkan terror. Termasuk juga tindakan yang direncanakan maupun yang spontan bersifat nyata atau hampir tidak terlihat, dihadapan seseorang atau di belakang seseorang, mudah untuk diidentifikasi atau terselubung dibalik persahabatan, dilakukan oleh seorang anak atau kelompok anak.
Banyak para ahli yang mengemukakan pendapatnya mengenai bullying. Seperti pendapat Olweus (1993) dalam pikiran rakyat, 5 Juli 2007: “Bullying can consist of any action that is used to hurt another child repeatedly and without cause”. Bullying merupakan perilaku yang ditujukan untuk melukai siswa lain secara terus-menerus dan tanpa sebab. Sedangkan menurut Rigby (2005; dalam Anesty, 2009) merumuskan bahwa “bullying” merupakan sebuah hasrat untuk menyakiti. Hasrat ini diperlihatkan dalam aksi, menyebabkan seseorang menderita. Aksi ini dilakukan secara langsung oleh seseorang atau sekelompok orang yang lebih kuat, tidak bertanggung jawab, biasanya berulang dan dilakukan dengan perasaan senang (Retno Astuti, 2008: 3).Riauskina, Djuwita, dan Soesetio (2001) mendefinisikan school bullying sebagai perilaku agresif kekuasaan terhadap siswa yang dilakukan berulang-ulang oleh seorang/kelompok siswa yang memiliki kekuasaan, terhadap siswa lain yang lebih lemah dengan tujuan menyakiti orang tersebut.
Beberapa ahli meragukan pengertian-pengertian di atas bahwa bullying hanya sekedar keinginan untuk menyakiti orang lain, mereka memandang bahwa “keinginan untuk menyakiti seseorang” dan “benar-be nar menyakiti seseorang” merupakan dua hal yang jelas berbeda. Oleh karena itu beberapa ahli psikologi menambahkan bahwa bullying merupakan sesuatu yang dilakukan bukan sekedar dipikirkan oleh pelakunya, keinginan untuk menyakiti orang lain dalam bullying selalu diikuti oleh tindakan negatif.
Dari berbagai definisi di atas dapat disimpulkan bahwa bullying merupakan serangan berulang secara fisik, psikologis, sosial, ataupun verbal, yang dilakukan dalam posisi kekuatan yang secara situasional didefinisikan untuk keuntungan atau kepuasan mereka sendiri. Bullying merupakan bentuk awal dari perilaku agresif yaitu tingkah laku yang kasar. Bisa secara fisik, psikis, melalui kata-kata, ataupun kombinasi dari ketiganya. Hal itu bisa dilakukan oleh kelompok atau individu. Pelaku mengambil keuntungan dari orang lain yang dilihatnya mudah diserang. Tindakannya bisa dengan mengejek nama, korban diganggu atau diasingkan dan dapat merugikan korban.
Bullying dapat terjadi dimana saja, di perkotaan, pedesaan, sekolah negeri, sekolah swasta, di waktu sekolah maupun di luar waktu sekolah. Bullying terjadi karena interaksi dari berbagai faktor yang dapat berasal dari pelaku, korban, dan lingkungan dimana bullying tersebut terjadi.
Pada umumnya, anak-anak korban bullying memiliki salah satu atau beberapa faktor resiko berikut:
  • Dianggap “berbeda”, misalnya memiliki ciri fisik tertentu yang mencolok seperti lebih kurus, gemuk, tinggi, atau pendek dibandingkan dengan yang lain, berbeda dalam status ekonomi, memiliki hobi yang tidak lazim, atau menjadi siswa/siswi baru.
  • Dianggap lemah atau tidak dapat membela dirinya.
  • Memiliki rasa percaya diri yang rendah.
  • Kurang populer dibandingkan dengan yang lain, tidak memiliki banyak teman.
Sedangkan untuk pelaku bullying, Ada beberapa karakteristik anak yang memiliki kecenderungan lebih besar untuk menjadi pelaku bullying, yaitu mereka yang:
  • Peduli dengan popularitas, memiliki banyak teman, dan senang menjadi pemimpin diantara teman-temannya. Mereka dapat berasal dari keluarga yang berkecukupan, memiliki rasa percaya diri tinggi, dan memiliki prestasi bagus di sekolah. Biasanya mereka melakukan bullying untuk meningkatkan status dan popularitas di antara teman-teman mereka.
  • Pernah menjadi korban bullying. Mereka juga mungkin mengalami kesulitan diterima dalam pergaulan, kesulitan dalam mengikuti pelajaran di sekolah, mudah terbawa emosi, merasa kesepian dan mengalami depresi.
  • Memiliki rasa percaya diri yang rendah, atau mudah dipengaruhi oleh teman-temannya. Mereka dapat menjadi pelaku bullying karena mengikuti perilaku teman-teman mereka yang melakukan bullying, baik secara sadar maupun tidak sadar.
Dalam penelitian Riauskina, Djuwita, dan Soesetio, (2005)  alasan seseorang melakukan bullying adalah karena  korban mempunyai persepsi bahwa pelaku melakukan bullying karena tradisi, balas dendam karena dia dulu diperlakukan sama (menurut korban laki-laki), ingin menunjukkan kekuasaan, marah karena korban tidak berperilaku sesuai dengan yang diharapkan, mendapatkan kepuasan (menurut korban laki – laki ), dan iri hati (menurut korban perempuan). Adapun korban juga mempersepsikan dirinya sendiri menjadi korban bullying karena penampilan yang menyolok, tidak berperilaku dengan sesuai, perilaku dianggap tidak sopan, dan tradisi.
Menurut psikolog Seto Mulyadi, Bullying disebabkan karena :
a)      Menurutnya, saat ini remaja di Indonesia penuh dengan tekanan. Terutama yang datang dari sekolah akibat kurikulum yang padat dan teknik pengajaran yang terlalu kaku. Sehingga sulit bagi remaja untuk menyalurkan bakat nonakademisnya Penyalurannya dengan kejahilan-kejahilan dan menyiksa.
b)      Budaya feodalisme yang masih kental di masyarakat juga dapat menjadi salah satu penyebab bullying sebagai wujudnya adalah timbul budaya senioritas, yang bawah harus nurut sama yang atas.

Dampak terhadap korban
Hasil studi yang dilakukan National Youth Violence Prevention Resource Center Sanders (2003; dalam Anesty, 2009) menunjukkan bahwa bullying dapat membuat remaja merasa cemas dan ketakutan, mempengaruhi konsentrasi belajar di sekolah dan menuntun mereka untuk menghindari sekolah. Bila bullying berlanjut dalam jangka waktu yang lama, dapat mempengaruhi self-esteem siswa, meningkatkan isolasi sosial, memunculkan perilaku menarik diri, menjadikan remaja rentan terhadap stress dan depreasi, serta rasa tidak aman. Dalam kasus yang lebih ekstrim, bullying dapat mengakibatkan remaja berbuat nekat, bahkan bisa membunuh atau melakukan bunuh diri (commited suicide).
Coloroso (2006) mengemukakan bahayanya jika bullying menimpa korban secara berulang-ulang. Konsekuensi bullying bagi para korban, yaitu korban akan merasa depresi dan marah, Ia marah terhadap dirinya sendiri, terhadap pelaku bullying, terhadap orang-orang di sekitarnya dan terhadap orang dewasa yang tidak dapat atau tidak mau menolongnya. Hal tersebut kemudan mulai mempengaruhi prestasi akademiknya. Berhubung tidak mampu lagi muncul dengan cara-cara yang konstruktif untuk mengontrol hidupnya, ia mungkin akan mundur lebih jauh lagi ke dalam pengasingan.
Terkait dengan konsekuensi bullying, penelitian Banks (1993, dalam Northwest Regional Educational Laboratory, 2001; dan dalam Anesty, 2009) menunjukkan bahwa perilaku bullying berkontribusi terhadap rendahnya tingkat kehadiran, rendahnya prestasi akademik siswa, rendahnya self-esteem, tingginya depresi, tingginya kenakalan remaja dan kejahatan orang dewasa. Dampak negatif bullying juga tampak pada penurunan skor tes kecerdasan (IQ) dan kemampuan analisis siswa. Berbagai penelitian juga menunjukkan hubungan antara bullying dengan meningkatnya depresi dan agresi.

Upaya menangani Bullying

Dalam rangka mencegah bullying, banyak pihak telah menjalankan program dan kampanye anti bullying di sekolah-sekolah, baik dari pihak sekolah sendiri, maupun organisasi-organisasi lain yang berhubungan dengan anak. Namun, pada nyatanya, bullying masih kerap terjadi di sekolah-sekolah di Indonesia, seperti yang dapat kita amati melalui kejadian baru-baru ini di salah satu SMA swasta yang disebutkan di awal tulisan ini.
Lalu apakah yang dapat kita –sebagai perorangan- lakukan untuk memerangi bullying?
 
1. Membantu anak-anak mengetahui dan memahami bullying

Dengan menambah pengetahuan anak-anak mengenai bullying, mereka dapat lebih mudah mengenali saat bullying menimpa mereka atau orang-orang di dekat mereka. Selain itu anak-anak juga perlu dibekali dengan pengetahuan untuk menghadapi bullying dan bagaimana mencari pertolongan.
Hal-hal yang dapat dilakukan untuk meningkatkan pemahaman anak mengenai bullying, diantaranya:
  • Memberitahu pada anak bahwa bullying tidak baik dan tidak dapat dibenarkan dengan alasan maupun tujuan apapun. Setiap orang layak diperlakukan dengan hormat, apapun perbedaan yang mereka miliki.
  • Memberitahu pada anak mengenai dampak-dampak bullying bagi pihak-pihak yang terlibat maupun bagi yang menjadi “saksi bisu”.
2. Memberi saran mengenai cara-cara menghadapi bullying

Setelah diberikan pemahaman mengenai bullying, anak-anak juga perlu dibekali pengetahuan dan keterampilan ketika mereka menjadi sasaran dari bullying agar dapat menghadapinya dengan aman tanpa menggunakan cara-cara yang agresif atau kekerasan, yang dapat semakin memperburuk keadaan.
Cara-cara yang dapat digunakan, misalnya dengan mengabaikan pelaku, menjauhi pelaku, atau menyampaikan keberatan mereka terhadap pelaku dengan terbuka dan percaya diri. Mereka juga dapat menghindari bullying dengan berada di sekitar orang-orang dewasa, atau sekelompok anak-anak lain.
Apabila anak menjadi korban bullying dan cara-cara di atas sudah dilakukan namun tidak berhasil, mereka sebaiknya didorong untuk menyampaikan masalah tersebut kepada orang-orang dewasa yang mereka percayai, baik itu guru di sekolah maupun orangtua atau anggota keluarga lainnya di rumah.

3. Membangun hubungan dan komunikasi dua arah dengan anak

Biasanya pelaku bullying akan mengancam atau mempermalukan korban bila mereka mengadu kepada orang lain, dan hal inilah yang biasanya membuat seorang korban bullying tidak mau mengadukan kejadian yang menimpa mereka kepada orang lain.
Oleh karena itu, sangat penting untuk senantiasa membangun hubungan dan menjalin komunikasi dua arah dengan anak, agar mereka dapat merasa aman dengan menceritakan masalah yang mereka alami dengan orang-orang terdekat mereka, dan tidak terpengaruh oleh ancaman-ancaman yang mereka terima dari para pelaku bullying.
Dalam kehidupan masa kini yang serba sibuk dan penuh aktivitas, semakin sulit bagi para orangtua dan anggota keluarga untuk

4. Mendorong mereka untuk tidak menjadi “saksi bisu” dalam kasus bullying

Berdasarkan sebuah penelitian yang dilakukan pada anak-anak sekolah dasar di Kanada, sebagian besar kasus bullying dapat dihentikan dalam 10 detik setelah kejadian tersebut berlangsung berkat campur tangan saksi –anak anak lain yang hadir saat kejadian tersebut berlangsung- misalnya dengan membela korban bullying melalui kata-kata ataupun secara fisik (memisahkan korban dengan pelaku).
Anak-anak yang menyaksikan kasus bullying juga dapat membantu dengan cara:
v  Menemani atau menjadi teman bagi korban bullying, misalnya dengan mengajak bermain atau berkegiatan bersama.
v  Menjauhkan korban dari situasi-situasi yang memungkinkan ia mengalami bullying.
v  Mengajak korban bicara mengenai perlakuan yang ia terima, mendengarkan ia bercerita dan mengungkapkan perasaannya.
ü  Apabila dibutuhkan, membantu korban mengadukan permasalahannya kepada orang dewasa yang dapat dipercaya.
5. Membantu anak menemukan minat dan potensi mereka

Dengan mengetahui minat dan potensi mereka, anak-anak akan terdorong untuk mengembangkan diri dan bertemu serta berteman dengan orang-orang yang memiliki minat yang sama. Hal ini akan meningkatkan rasa percaya diri dan mendukung kehidupan sosial mereka sehingga membantu melindungi mereka dari bullying.
Terhadap anak-anak yang berisiko terkena bullying atau menjadi korban bullying, lakukan langkah berikut ini:
·         Jangan membawa barang-barang mahal atau uang berlebihan. Merampas, merusak, atau menyandera barang-barang korban adalah tindakan yang biasanya dilakukan pelaku bullying. Oleh karena itu, sebisa mungkin jangan beri mereka kesempatan membawa barang mahal atau uang yang berlebihan ke sekolah.
·         Jangan sendirian. Pelaku bullying melihat anak yang menyendiri sebagai “mangsa” yang potensial. Oleh karena itu, jangan sendirian di dalam kelas, di lorong sekolah, atau tempat-tempat sepi lainnya. Kalau memungkinkan, beradalah di tempat di mana guru atau orang dewasa lainnya dapat melihat. Akan lebih baik lagi, jika anak tersebut bersama-sama dengan teman, atau mencoba berteman dengan anak-anak penyendiri lainnya.
·         Jangan cari gara-gara dengan pelaku bullying.
·         Jika anak tersebut suatu saat terperangkap dalam situasi bullying, kuncinya adalah tampil percaya diri. Jangan memperlihatkan diri seperti orang yan lemah atau ketakutan.
·         Harus berani melapor pada orang tua, guru, atau orang dewasa lainnya yang dipercayainya. Ajaklah anak tersebut untuk berani bertindak dan mencoba

6. Memberi teladan lewat sikap dan perilaku

Sebaik dan sebagus apapun slogan, saran serta nasihat yang mereka dapatkan, anak akan kembali melihat pada lingkungan mereka untuk melihat sikap dan perilaku seperti apa yang diterima oleh masyarakat. Walaupun tidak terlihat demikian, anak-anak juga memerhatikan dan merekam bagaimana orang dewasa mengelola stres dan konflik, serta bagaimana mereka memperlakukan orang-orang lain di sekitar mereka.

Apabila kita ingin ikut serta dalam memerangi bullying, hal paling sederhana yang dapat kita lakukan adalah dengan tidak melakukan bullying atau hal-hal lain yang mirip dengan bullying. Disadari maupun tidak, orang dewasa juga dapat menjadi korban ataupun pelaku bullying, misalnya dengan melakukan bullying di tempat kerja, ataupun melakukan kekerasan verbal terhadap orang-orang di sekitar kita.
 
3.      Menyontek

Menyontek merupakan sebuah kecurangan yang dilakukan oleh seseorang dalam mengerjakan tugas dan ujian, baik itu di sekolah, di perguruan tinggi, maupun di tempat yang lainnya. Perilaku menyontek juga dapat diartikan sebagai penipuan atau melakukan perbuatan tidak jujur.
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia karangan W.J.S. Purwadarminta, menyontek adalah mencontoh, meniru, atau mengutip tulisan, pekerjaan orang lain sesuai dengan yang aslinya.
Setiap orang ingin mendapatkan kebarhasilan seperti keberhasilan di dalam belajar. Untuk memperoleh keberhasilan tersebut seseorang sering kali menggunakan cara-cara yang tidak jujur.
Dalam menyontek seseorang melakukan praktek kecurangan dengan bertanya, memberi informasi, atau membuat catatan untuk mendapatkan keuntungan bagi dirinya sendiri. Keuntungan tersebut di peroleh tanpa mempertimbangkan aspek moral dan kognitif. Sehingga kecurangan tersebut dapat merugikan tidak hanya bagi diri sendiri tetapi juga dapat merugikan orang lain.

Upaya Penanggulangan Perilaku Menyontek
1)      Diri Sendiri

a.       Bangkitkan Rasa Percaya Diri (Self-efficacy)
Dengan membangkitkan rasa percaya diri, seorang siswa akan mampu untuk mandiri dan tidak tergantung pada orang lain. Siswa yang menyontek biasanya akan terbiasa untuk bergantung pada orang lain. Oleh karena itu untuk mengurangi kebiasaan menyontek, seorang siswa harus dapat meningkatkan rasa percaya dirinya.
Jika siswa sudah memiliki rasa percaya diri yang tinggi maka dia akan percaya akan kemampuan dirinya ketika menjawab soal-soal ujian. Seorang siswa yang memiliki self-efficacy  yang baik, ketika dalam menghadapi ujian akan memiliki pengharapan akan nilai yang bagus dan hasil yang memuaskan dengan mempersiapkan diri sebelum dilakukannya ujian.

b.      Arahkan Self-consept ke Arah yang Lebih Proporsional
Jika seorang siswa sudah memiliki konsep diri yang positif, maka dia akan dapat mengontrol dirinya agar tidak menyontek ketika ujian maupun tes lainnya. Siswa yang memiliki konsep diri yang positif berarti dia sudah mampu mengenal diri dan potensi-potensi yang dapat dikembangkan baik dalam bidang akademik maupun non akademik. Hal tersebut dapat membuat siswa mampu menentukan tujuan yang realistis dan lebih mudah mencapai prestasi yang optimal.
Hubungan antara tingginya konsep diri yang dimiliki seorang siswa dengan intensi siswa menyontek sudah dibuktikan oleh Uni Setyani (2007:80) bahwa pada siswa di SMA Negeri 2 Semarang, sebanyak 21,5% siswa menyontek karena konsep diri yang rendah.
Konsep diri yang dimiliki seseorang juga dipengaruhi oleh lingkungannya terutama teman sebaya di sekolah. Interaksi antara teman sebaya akan memunculkan adanya penerimaan atau penolakan sosial. Penilaian tersebut akan memberikan pandangan kepada individu mengenai peranannya dalam lingkungan sosial.
Pudjijogjanti (1985:26; dalam Uni Setyani, 2007:75) menyatakan bahwa siswa memiliki pendekatan yang berbeda-beda dalam memahami dan melaksanakan tugas-tugas sekolah. Bentuk pendekatan yang dilakukan siswa untuk memahami dan melaksanakan tugas dipengaruhi oleh pandangan siswa pada diri dan lingkungannya, yang berarti konsep diri berperan penting dalam menentukan kualitas dan kuantitas belajar siswa dalam usahanya meraih prestasi.

c.       Biasakan Berpikir Lebih Realistis dan Tidak Ambisius
Di dalam belajar maupun ujian hendaknya seorang siswa tidak hanya mementingkan tujuan akan nilai yang tinggi dan prestasi yang baik saja. Di dalam belajar yang diharapkan terhadap siswa adalah mampu menguasai apa yang di pelajari bukan hanya berorientasi pada hasil akhirnya.

2)      Orang Tua
Menurut Hurlock (1999:132; dalam Uni Setyani, 2007:76) pandangan orang tua tentang kemampuan dan prestasi anak akan mempengaruhi cara pandang anak terhadap dirinya. Orang tua yang terlalu mengaharapkan anaknya mendapatkan prestasi yang baik akan mempengaruhi anak untuk memperoleh nilai yang baik bagaimanpun caranya, termasuk menyontek.
Orang tua hendaknya mengenali potensi dan kemampuan anaknya. Jika anak kemampuan yang rendah jangan terlalu menuntut anak untuk mendapatkan nilai tinggi.
Orang tua hendaknya juga senantiasa menciptakan lingkungan psikologis yang mampu mempertahankan terwujudnya kosep diri positif dengan memberi penghargaan terhadap prestasi yang sudah diraih anak.
Orang tua diharapkan agar tidak mematok atau memberi target nilai yang harus didapatkan oleh anak. Orang tua hendaknya memberikan perhatian dan mengontrol proses belajar anak, memberi pengertian dan motivasi pada anak tentang pentingnya proses belajar sehingga anak tidak berorientasi pada hasil atau nilai sehingga dapat meminimalisir intensi menyontek.
Orang tua hendaknya juga tidak menggunakan pola asuh yang otoriter dalam mendidik anak sehingga anak percaya diri di dalam bergaul dan bersosialisasi.

3)      Guru
Guru hendaknya meningkatkan pengawasan dan memberikan hukuman tegas pada siswa yang menyontek sehingga siswa tidak berani mengulangi perbuatannya. Guru juga hendaknya tidak menganggap bahwa menyontek sebagai perbuatan yang wajar, akan tetapi harus menyikapinya dengan serius.
Hal-hal yang perlu dilakukan oleh guru untuk mengurangi intensitas menyontek adalah sebagai berikut:
                                                  i.      Membentuk hubungan saling menghargai antara guru dengan siswa, serta menolong siswa bertindak jujur dan tanggung jawab.
                                                ii.      Membuat dan mendukung peraturan sehubungan dengan menyontek, karena siswa memahami peraturan dari tindakan guru.
                                              iii.      Mengembangkan kebiasaan dan keterampilan belajar yang baik dan menolong siswa merencanakan, melaksanakan cara belajar siswa.
                                              iv.      Tidak membiarkan siswa menyontek jika hal tersebut terjadi dalam kelas dengan teguran atau cara lain yang pantas dengan perbuatannya, sebagai penerapan disiplin.
                                                v.      Bertanggung jawab merefleksikan “kebenaran dan kejujuran”, yaitu guru menjadikan diri sebagai teladan siswa dalam menanamkan nilai kebenaran dan kejujuran.
                                              vi.      Menggunakan tes subjektif sebagai dasar proses ulangan dan ujian.
                                            vii.      Menekankan “belajar” lebih sekedar mendapat nilai, yaitu membantu siswa memahami arti belajar sebagai suatu tujuan mereka sekolah dan nilai akan berarti bila murni dengan kemampuan siswa sendiri.
4)      Sekolah
Berkaitan dengan pelaksanaan ujian, sekolah diharapkan membuat sistem ujian dan menggunakan bentuk soal yang meminimalisir intensi menyontek. Sistem ujian diharapkan memperkecil kemungkinan terwujudnya perilaku menyontek, misalnya dengan mengatur jarak. antar siswa dan membuat soal ujian yang berbeda-beda antar kelas. Sejak siswa mulai masuk, sekolah diharapkan menanamkan pemahaman pada siswa bahwa menyontek merupakan suatu bentuk ketidakjujuran yang dapat berdampak pada aspek kehidupan lain.
Langkah yang perlu dilakukan untuk mengurangi intensitas menyontek adalah dengan mengurangi perilaku ketidaksiapan siswa dalam menyikuti pelajaran, mengurangi perilaku prokrastinasi, dan menghilangkan materi yang mempersulit proses belajar (Whitley, 1998; Anderman, 2007; dalam Dody Hartanto, 2012:45).
McCabe dan Pavela (1997; Linda Klebe Trevino, 2001; dalam Dody Hartanto, 2012:46) mengemukakan 10 prinsip yang harus dilakukan dalam menangani masalah menyontek, yaitu sebagai berikut:
a.       memberikan penegasan atau penguatan tentang pentingnya integritas akademik,
b.      mendorong kecintaan belajar,
c.       memperlakukan siswa sebagai diri mereka sendri,
d.      membantu terciptanya perkembangan lingkungan yang saling percaya,
e.       mendorong tanggung jawab siswa dalam meraih integritas akademik,
f.       melakukan klarifikasi atas harapan siswa,
g.      membuat atau menciptakan bentuk tes yang adil dan relevan,
h.      mengurangi kemungkinan terjadinya ketidakjujuran akademik,
i.        melawan ketidakjujuran akademik yang terjadi, dan
j.        membantu mendefinisikan dan mendukung terciptanya standar integritas akdemik.
Menyontek juga berkaitan dengan pola pikir siswa terhadap perilaku menyontek, jadi berkenaan dengan ini sekolah hendaknya mengubah pola pikir siswa bahwa menyontek merupakan suatu perilaku yang tidak baik, menyontek dapat mengikir kejujuran dan moral seseorang.

5)           Guru BK atau Konselor
Untuk menanggulangi perilaku menyontek, guru BK dapat menggunakan Konseling Kognitif Perilaku (KKP) dan konseling REBT berbasis kelompok.

a.      Konseling Kognitif Prilaku (KKP)
Konseling kognitif perilaku digunakan untuk menangani masalah kecemasan pada siswa. Salah satunya kecemasan yang akhirnya menyebabkan siswa menyontek.
Konseling kognitif perilaku ini berkaitan dengan kognitif (pemikiran) dan perilaku seseorang dalam kehidupan. Filosofi yang digunakan dalam Konseling Kognitif Perilaku adalah perasaan dan perilaku menusia ditentukan oleh bagaimana ia memberi arti (makna) pada setiap kejadian, masalah, dan situasi yang dihadapi (Dody Hartanto, 2012:49). Jadi perilaku manusia dikaitkan dengan bagaimana manusia itu memaknai setiap kejadian di dalam hidupnya.
Menurut Oemaryadi (Mubyar, 2009; dalam Dody Hartanto, 2012:50), teori KKP didasarkan pada pola pembentukan manusia melalui progran Stimulus-Kognisi-Respons (SKR) yang saling terkait dan membentuk jaringan dalam otak, dimana proses kognitif menjadi faktor penentu dalam menjelaskan bagaimana manusia merasa, berpikir, dan bertindak.
Tujuan dari Konseling Kognitif Perilaku ini adalah mengoreksi self-belief yang salah atau menyimpang yang mengakibatkan cara berpikir yang tidak rasional yang selanjutnya akan menimbulkan gangguan psikologis. Menurut prespektif keyakinan diri, Konseling Kognitif Perilaku betujuan untuk meningkatkan efikasi diri (self-efficacy) individu (Kalodner, 1995; Ilfiandra, 2008; dalam Dody Hartanto, 2012:51). Berdasarkan teori efikasi diri, individu memiliki harapan untuk berhasil dalam menampilkan perilaku yang khusus dan harapan yang dimiliki itu dapat berpengaruh pada pengambilan keputusan untuk mencoba perilaku baru dan mempertahankan perubahan perilaku.
Model self-efficacy oleh Albert Bandura merupakan salah satu model Konseling Kognitif Prilaku (KKP) yang sering digunakan. Self-efficacy  dapat diartikan sebagai keyakinan terhadap diri sendiri. Bandura merupakan ahli psikologi yang banyak menulis bahwa faktor sosial-kognitif mempengaruhi belajar dan perubahan perilaku individu.
Berbagai teknik yang digunakan dalam Konseling Kognitif Prilaku oleh Bond (2004; dalam Dody Hartanto, 2012:56) dibagi kedalam tiga kategori, yaitu (a) restrukturisasi kognitif, yang menckup terapi emosi rasional, pengajaran diri, dan terapi kognitif, (b) terapi keterampilan dalam menangani situasi yang meliputi pemodelan tertutup, latihan pengolahan kecemasan, dan suntikan stres, serta (c) terapi pemecahan masalah yang berisikan pemecahan masalah perilaku dan kepercayaan diri.
McLeod (2006; Mubyar, 2009; dalam Dody Hartanto, 2012:57) menyebutkan bahwa beberapa teknik yang dapat digunakan dalam Konseling Kognitif Perilaku, yaitu:
a.        menata keyakinan yang irasional,
b.        bibliotherapy (terapi pustaka), yaitu menerima kondisi emosi internal sebagai sesuatu yang menarik bukannya sesuatu yang menakutkan,
c.        mengulang kembali penggunaan beragam pernyataan diri,
d.       mencoba penggunaan berbagai pernyataan diri,
e.        mengukur perasaan,
f.         menghentikan pikiran,
g.        desensitisasi sistematis,
h.        pelatihan keterampilan sosial,
i.          assertiveness skill training atau pelatihan keterampilan agar dapat bertindak dengan tegas,
j.          pemberian tugas rumah, dan
k.        in vivo exposure, yaitu mengatasi situasi yang menyebabkan masalah dengan memasuki situasi tersebut.
Penggunaan KKP untuk mengurangi intensitas menyontek sudah dibuktikan oleh Mubarok (2009) bahwa menyontek di sekolah dasar memiliki intensitas sedang dan rendah. Penelitian yang lain juga menemukan intensitas menyontek di sekolah menengah pertama yang berada pada kategori sedang dan tinggi.

b.      Konseling REBT Berbasis Kelompok
REBT (Rasional Emotive Behavior Therapy) dulu dikenal sebagai RET (Rational Emotive Therapy). Pendekatan RET lebih ditekankan pada kognisi, perilaku dan aksi yang lebih mengutamakan berpikir, menilai, menentukan, menganalisis dan melakukan sesuatu. George & Crintiani (1990; dalam Hartanto dan Boy Soedarmadji, 2013:131) menyatakan bahwa pendekatan RET ini menekankan pada proses berpikir konseli yang dihubungkan dengan perilaku serta kesulitan psikologis dan emosional.
Berkenaan dengan teknik REBT, menurut Gladding (2004; dalam Dody Hartanto, 2012:60) dapat menggunakan bebagai macam teknik. Dua yang utama adalah mengajari (teaching) dan menantang (disputing). Mengajari menyangkut memberikan pemahaman tentang ide dasar REBT dan memahami bahwa pikiran bertautan dengan emosi dan perilaku. Sedangkan teknik menantang terbagi menjadi tiga, yaitu menantang pemikiran atau keyakina, tantang imajiner, dan tantangan perilaku.
REBT tidak hanya betujuan menghilangkan simtom, tetapi juga membantu orang memeriksa dan mengubah beberapa nilai dasar mereka terutama yang menimbulakan gangguan (Dody Hartanto, 2012:67). Hal ini berkaitan dengan menghilangkan penilaian yang salah oleh siswa terhadap perilaku menyontek.

BAB III
PENUTUP

Saran
Agar proses belajar mengajar siswa dapat berlangsung secara optimal, diperlukan pendekatan yang lebih intensif dari guru BK, Guru Mata Pelajaran, Wali Kelas, Lingkungan, dan Keluarga. Sehingga siswa dapat terus terpantau bagaimana perkembangannya dalam proses pembelajaran.


























DAFTAR PUSTAKA

Yahya, mocha. "Masalah dalam Belajar". Diakses 15 Juni 2016.
http://yahyanurkan.blogspot.co.id/2015/04/masalah-masalah-dalam-belajar_19.html


Amalros, A. M. Taufik. "Masalah yang dihadapi siswa dalam belajar".  Diakses 15 Juni 2016.
http://civicpeople.blogspot.co.id/2013/10/masalah-yang-dihadapi-siswa-dalam.html


Supianto. "Mengatasi siswa sering bolos". Diakses 15 Juni 2016.
http://cigadoggoblog.blogspot.co.id/2012/06/makalah-mengatasi-siswa-sering-bolos.html


Taharani, annisah. "Bullying". Diakses 15 Juni 2016.
http://adeannisah.blogspot.co.id/2015/11/makalah-bullying.html

No comments: